Sejarah

Perlukah MENCAGARI atau MENCAKARI Logo dan Moto Surabaya

Perlukah MENCAGARI atau MENCAKARI Logo dan Moto Surabaya

SURABAYA, tNews.co.id –  Ternyata orang orang Belanda, yang membuat moto dan logo Surabaya, benar benar menyelami sejarah, sifat dan budaya adi luhung lokal (Surabaya). Lantas Bagaimana dengan orang Surabaya sendiri? Apakah mereka MENCAGARI nilai nilai itu? Ataukah MENCAKARI?

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang mengangkat tentang Logo dan Moto kota Surabaya. Keduanya: Logo dan Moto sungguh sarat dengan makna yang sangat filosofis. Keduanya benar benar merefleksikan Surabaya baik secara fisik maupun non fisik.
Logo kota Surabaya, yang bergambar binatang: ikan hiu dan buaya, adalah perlambang wilayah teritorial Surabaya yang selain wilayahnya berupa daratan, wilayah Surabaya lainnya berupa perairan (laut).

Adalah kebiasaan orang Belanda yang sering menggunakan gambar gambar hewan sebagai perlambang teritorial. Kebiasaan yang terjadi di negerinya itu masih diterapkan meski mereka berada di tanah Hindia Timur.

Dalam buku “25 Jaaren Decentralisatie Nederlandsch Indies 1905-1930”, kota kota yang diberi hak otonom oleh pusat (Batavia), sebagian berlogo dengan gambar binatang. Salah satunya adalah Kota Surabaya yang logonya bergambar ikan hiu dan buaya.
GH Von Faber dalam “Oud Soerabaia” menyebut ikan hiu sebagai perlambang wilayah air. Sedangkan buaya melambangkan wilayah daratan.

Karena lambang lambang kota otonom ini muncul di era pemerintahan Hindia Belanda, maka jelas logo logo kota itu yang menciptakan adalah orang orang Belanda di Hindia Timur. Ikan hiu dan buaya menjadi perlambang kondisi geografis dan alami kota Surabaya.

Selain LOGO, mereka (orang orang Belanda) di Surabaya juga membuat MOTO kota Surabaya. Moto yang dibuat berbunyi dan bertuliskan “Sura ing Baya”, yang berarti “Berani dalam (menghadapi) bahaya”.

“Sura ing Baya” adalah bahasa Jawa Kuna. Yang patut diapresiasi adalah bahwa orang orang Belanda, yang membuat Moto Kota Surabaya, benar benar bisa membuat inti sari sifat dan karakter orang orang Surabaya.
Inti sari sifat dan karakter orang orang Surabaya itu adalah sifat pemberani, pantang menyerah dan egaliter dalam upaya menggapai impian.

Sifat sifat dasar orang orang Surabaya ini terkandung dalam moto atau semboyan “Sura ing Baya”, yang selanjutnya dipakai sebagai spirit dan semangat rakyat Surabaya untuk membangun (masa depan) kotanya.

Adalah sebuah hasil perenungan yang luar biasa oleh siapa pun mereka, orang orang Belanda yang tinggal di Surabaya. Mereka telah berjasa buat kota Surabaya karena telah melahirkan Moto Kota Surabaya yang luar biasa, yang berisi nilai nilai luhur dari nenek moyang orang orang Surabaya.
Kalau dilacak secara historis ternyata nilai nilai luhur nenek moyang ini sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa (Belanda) datang di Surabaya. Ini menunjukkan bahwa orang orang Belanda itu telah benar benar mempelajari dan mengkaji sumber sumber yang dijadikan acuan dalam menentukan, memutuskan dan melahirkan MOTO kota Surabaya, yang berbunyi “Sura ing Baya”. Artinya Berani dalam (menghadapi) Bahaya.

Nilai Luhur Sepanjang Jaman
Sifat dan karakter berani dalam (menghadapi) bahaya ini bermakna sepanjang masa. Moto “Sura ing Baya” yang mengandung nilai nilai luhur itu tidak hanya relevan pada lampau saja, tapi juga sekarang dan bahkan tetap relevan dimasa depan.

GH Von Faber dalam buku lainnya “Er Werd Een Stad Geboren” menjelaskan bahwa pada 1270 an, Surabaya, yang dialokasikan di kawasan Delta Peneleh Pandean, adalah tempat dimana para jawara bermukim.

Secara etimologi, “jawara” berarti sebagai juara atau jagoan yang berarti pemenang, yang dipandang hebat dan kuat. Itulah orang orang Surabaya.

Ketika Majapahit runtuh yang ditandai dengan candra sengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” yang berarti 1400 Caka atau 1470 Masehi, suksesi berturut turut berpindah ke Demak, Pajang dan berikutnya Mataram.

Tidak hanya suksesi secara administratif yang dikehendaki suksesor, tapi juga teritorial. Surabaya di era pemerintahan kerajaan Majapahit adalah wilayah bawahan. Ketika suksesi berpindah ke Kerajaan Demak, Pajang dan Mataram, mereka juga berharap Surabaya masuk dalam kekuasaanya.

Tapi ternyata tidak mudah bagi mereka untuk menguasai Surabaya. Kesulitan itu tampak sekali ketika Mataram berupaya menguasai Surabaya. Perlawanan dari pihak Surabaya pun sangat nyata.

Itu semua menunjukkan betapa Surabaya sangat kuat dan secara logis kekuatan itu didukung oleh personil prajurut yang handal. Seperti yang dideskripsikan Von Faber dengan menyebut Surabaya (1270) dihuni para jawara dan jawara inilah yang selanjutnya berkonotasi prajurit handal.
Memasuki era kemerdekaan pada 1945, pejuang pejuang tangguh, yang berani mati, menjadi benteng Surabaya. Mereka adalah arek arek Surabaya yang rela berkorban dan mati demi merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Mereka berani menghadapi bahaya. Sura ing baya.

Ada sebuah parikan atau pantun yang berbunyi: “Tapi dhuk, tali layangan. Nyowo situk ilang ilangan”. Artinya Tali duk, tali layang. Satu nyawa rela hilang.
Sekarang pada pasca kemerdekaan, muncul istilah “Bonek” akronim dari Bondo Nekad yang artinya bermodal berani total, menjadi slogan supporter klub sepak bola kesayangan Persebaya. Sesungguhnya “Bonek” sendiri adalah kata sifat yang mendasari sikap para suporter dalam bersikap dan bertindak. Intinya mereka sangat berani.

Nah sifat berani, tentu yang bertanggung jawab, masih sangat dibutuhkan untuk masa depan Surabaya.

Karenanya, jika dulu moto “Sura ing Baya” tersematkan pada logo Surabaya, kemudian sekarang moto itu hilang, maka mendatang moto itu harus dikembalikan agar nilai nilai luhur yang ada, dan telah terwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa memberikan spirit, semangat dan panduan dalam menatap masa depan.

Logo dan Moto Surabaya harus berpasangan agar tercipta keserasian dalam berfikir dan bertindak demi membangun kota Surabaya.( Nang).

Related Articles

Back to top button