Hari Jadi Kota Surabaya Pada 31 Mei 1293 Adalah Keputusan Subyektif
SURABAYA – tNews.co.id || Diskusi publik, yang mengangkat tema “Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya” dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Surabaya ke 728 di Lodji Besar, jalan Makam Peneleh 46 Surabaya pada 31 Mei 2021 sudah usai. Wakil Walikota Surabaya, Armuji, selaku “tergugat” hadir dalam diskusi yang digelar oleh Forum Begandring Soerabaia.
Terkait dengan judulnya “Menggugat”, Armuji yang setelah mendengarkan dengan seksama pemateri mulai dari Nanang Purwono (penulis) , TP Wijono (aktivis sejarah klasik), Wicaksono Dwi Nugroho (arkeolog) dan Yousri Raja Agam (wartawan senior yang menjadi saksi proses penetapan hari jadi Surabaya pada 1975), langsung menyatakan dengan terbuka akan menerima gugatan dari komunitas atas Hari Jadi Kota Surabaya tertanggal 31 Mei 1293 yang bersifat subyektif, suka-suka penguasa.
Sikap terbuka Wawali Armuji ini bukan tidak punya alasan. Pemaparan dari keempat pemateri ini sangat masuk akal dan logis karena mereka didukung dengan pemahaman terhadap persoalan sesuai dengan bidang dan kapasitasnya masing masing.
Armuji pun blak blakan ala Suroboyoan, bermahkota udeng Cak Suroboyo dan berbahasa Suroboyoan. Dirinya terlihat akrab dan dekat dengan para hadirin. Tidak ada sekat. Tapi tetap protokol kesehatan. Memang seperti itu faktanya. Bloko suto. Itulah sikap dan sifat yang nampak pada malam 31 Mei 2021 di Lodji Besar, tempat bermarkasnya Begandring Soerabaia.
Dalam mengawali sambutannya, baik atas nama pribadi maupun mewakili pemerintah kota Surabaya, Armuji menyimpulkan seluruh isi dari keempat pemateri bahwa pelaku pelaku dalam kisah yang diulas oleh para pemateri serta penyelenggara diskusi publik yang berjudul “Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya” adalah para “pemberontak”. Artinya berani membuat terobosan dan gebrakan untuk kebaikan. Yakni pelurusan sejarah.
Menurutnya apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu di pemerintahan kotamadya Surabaya di rezim Soeharto dalam upaya mengganti hari jadi kota Surabaya dari 1 April 1906 menjadi 31 Mei 1293 adalah sikap dan keputusan yang dirancang atas rasa suka-suka, bukan keputusan yang berlandaskan sejarah.
Memang ada sejarawan dalam tim peneliti yang dibentuk oleh pemerintah kotamadya Surabaya pada 1973 (era walikota Soekotjo). Ada tinjauan tinjauan akademis, ilmiah dan historis. Tapi ada juga rasa suka-suka serta anggapan-anggapan yang menjadi bumbu kajian akademis dan historis. Sifat subyektivitas (rasa suka-suka dan anggapan anggapan) inilah yang pada akhirnya mempengaruhi cita rasa penetapan.
Misalnya dipilihnya tanggal 31 Mei karena agar peringatan hari jadi Surabaya ini tidak berdekatan dengan peringatan hari besar lainnya yang sudah ada seperti 17 Agustus dan 10 November. Dengan jatuhnya hari jadi kota Surabaya pada 31 Mei, maka ada jeda 3 bulanan dari masing masing peringatan. Yaitu Mei (hari jadi), Agustus (hari kemerdekaan) dan November (hari pahlawan)
Padahal di bulan Juli, September dan November tercatat ada penanggalan yang sangat historis dan masuk akal bagi sejarah Surabaya. Bulan bulan itu adalah:
a. Tanggal 7 Juli 1358.
Yaitu suatu tanggal pada Prasasti Trowulan, di mana disebutkan untuk pertama kalinya nama Surabaya dengan tulisan SURABAYA (menurut transkripsi dari huruf Jawa kuno ke huruf Latin). Surabaya dinyatakan selaku naditira pradeca (laporan ilmiah itu disampikan oleh Issatrijadi dan Soenarto Timoer).
b. Tanggal, 11 September 1294.
Yaitu saat penganugerahan tanda jasa kepada kepala desa dan rakyat desa Kudadu atas jasanya menyelamatkan Raden Wijaya.
c. Tanggal 3 November 1486.
Yaitu tanggal pada Prasasti Jiu di mana Adipati Surabaya menurut pakem melakukan pemerintahan (Laporan dari Soeroso).
Karena penanggalan di atas berdekatan dengan bulan Agustus dan November, maka dicarilah hari yang tidak berdekatan dengan Agustus dan November. Yaitu bulan Mei dengan tanggal 31 Mei yang pada tanggal itu dianggap ada peristiwa pengusiran tentara Tartar oleh pasukan Raden Wijaya.
Tapi menurut arkeolog BPCB Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho, kisah 31 Mei 1293 ini tidak memiliki bukti bukti arkeologis yang dapat dijadikan bukti faktual sebagai petunjuk pernah adanya peristiwa itu. Sehingga menurutnya pengajuan tanggal 31 Mei 1293 dan sekaligus pemilihan dan penetapan atas tanggal itu sebagai Hari Jadi Kota Surabaya sangatlah subyektif. Wicaksono menambahkan sejarah tidak boleh subyektif, tapi harus faktuil.
Ternyata penetapan tanggal 31 Mei 1293 yang disyahkan oleh walikota Surabaya, Soeparno melalui SK no 64/SW/1975 pada tanggal 18 Maret 1975 menuai kontroversi. Protes dari sejarawan yang ada di luar tim peniti tidak digubris oleh pemerintah kalau itu. Bahkan buku berjudul “Hari Jadi Kota Surabaya” yang telah disusun dan dicetak oleh Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya tidak jadi didistribusikan ke publik.
Wakil Walikota Armuji dengan lugas mengatakan bahwa hasil putusan dan penetapan oleh DPRD Surabaya dan Walikota Surabaya pada 1975 adalah “dawul dawul atau keputusan suka suka. Keputusan ini perlu diperbaiki seiring dengan semakin pahamnya warga kota Surabaya terhadap sejarah kotanya. Warga kota Surabaya semakin mengerti sejarah kotanya dan karena itu mereka tidak lagi bisa dinina-bobokkan oleh keputusan yang bersifat suka suka.
Untuk itu Armuji membuka diri dan akan menerima usulan perbaikan sejarah hari jadi Kota Surabaya dari komunitas. Menggugat demi kebaikan adalah boleh boleh saja, tidak ada yang melarang, begitu kata wawali yang sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua DPRD Kota Surabaya. (Nanang)
id || Diskusi publik, yang mengangkat tema “Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya” dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Surabaya ke 728 di Lodji Besar, jalan Makam Peneleh 46 Surabaya pada 31 Mei 2021 sudah usai. Wakil Walikota Surabaya, Armuji, selaku “tergugat” hadir dalam diskusi yang digelar oleh Forum Begandring Soerabaia.
Terkait dengan judulnya “Menggugat”, Armuji yang setelah mendengarkan dengan seksama pemateri mulai dari Nanang Purwono (penulis) , TP Wijono (aktivis sejarah klasik), Wicaksono Dwi Nugroho (arkeolog) dan Yousri Raja Agam (wartawan senior yang menjadi saksi proses penetapan hari jadi Surabaya pada 1975), langsung menyatakan dengan terbuka akan menerima gugatan dari komunitas atas Hari Jadi Kota Surabaya tertanggal 31 Mei 1293 yang bersifat subyektif, suka-suka penguasa.
Sikap terbuka Wawali Armuji ini bukan tidak punya alasan. Pemaparan dari keempat pemateri ini sangat masuk akal dan logis karena mereka didukung dengan pemahaman terhadap persoalan sesuai dengan bidang dan kapasitasnya masing masing.
Armuji pun blak blakan ala Suroboyoan, bermahkota udeng Cak Suroboyo dan berbahasa Suroboyoan. Dirinya terlihat akrab dan dekat dengan para hadirin. Tidak ada sekat. Tapi tetap protokol kesehatan. Memang seperti itu faktanya. Bloko suto. Itulah sikap dan sifat yang nampak pada malam 31 Mei 2021 di Lodji Besar, tempat bermarkasnya Begandring Soerabaia.
Dalam mengawali sambutannya, baik atas nama pribadi maupun mewakili pemerintah kota Surabaya, Armuji menyimpulkan seluruh isi dari keempat pemateri bahwa pelaku pelaku dalam kisah yang diulas oleh para pemateri serta penyelenggara diskusi publik yang berjudul “Menggugat Hari Jadi Kota Surabaya” adalah para “pemberontak”. Artinya berani membuat terobosan dan gebrakan untuk kebaikan. Yakni pelurusan sejarah.
Menurutnya apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu di pemerintahan kotamadya Surabaya di rezim Soeharto dalam upaya mengganti hari jadi kota Surabaya dari 1 April 1906 menjadi 31 Mei 1293 adalah sikap dan keputusan yang dirancang atas rasa suka-suka, bukan keputusan yang berlandaskan sejarah.
Memang ada sejarawan dalam tim peneliti yang dibentuk oleh pemerintah kotamadya Surabaya pada 1973 (era walikota Soekotjo). Ada tinjauan tinjauan akademis, ilmiah dan historis. Tapi ada juga rasa suka-suka serta anggapan-anggapan yang menjadi bumbu kajian akademis dan historis. Sifat subyektivitas (rasa suka-suka dan anggapan anggapan) inilah yang pada akhirnya mempengaruhi cita rasa penetapan.
Misalnya dipilihnya tanggal 31 Mei karena agar peringatan hari jadi Surabaya ini tidak berdekatan dengan peringatan hari besar lainnya yang sudah ada seperti 17 Agustus dan 10 November. Dengan jatuhnya hari jadi kota Surabaya pada 31 Mei, maka ada jeda 3 bulanan dari masing masing peringatan. Yaitu Mei (hari jadi), Agustus (hari kemerdekaan) dan November (hari pahlawan)
Padahal di bulan Juli, September dan November tercatat ada penanggalan yang sangat historis dan masuk akal bagi sejarah Surabaya. Bulan bulan itu adalah:
a. Tanggal 7 Juli 1358.
Yaitu suatu tanggal pada Prasasti Trowulan, di mana disebutkan untuk pertama kalinya nama Surabaya dengan tulisan SURABAYA (menurut transkripsi dari huruf Jawa kuno ke huruf Latin). Surabaya dinyatakan selaku naditira pradeca (laporan ilmiah itu disampikan oleh Issatrijadi dan Soenarto Timoer).
b. Tanggal, 11 September 1294.
Yaitu saat penganugerahan tanda jasa kepada kepala desa dan rakyat desa Kudadu atas jasanya menyelamatkan Raden Wijaya.
c. Tanggal 3 November 1486.
Yaitu tanggal pada Prasasti Jiu di mana Adipati Surabaya menurut pakem melakukan pemerintahan (Laporan dari Soeroso).
Karena penanggalan di atas berdekatan dengan bulan Agustus dan November, maka dicarilah hari yang tidak berdekatan dengan Agustus dan November. Yaitu bulan Mei dengan tanggal 31 Mei yang pada tanggal itu dianggap ada peristiwa pengusiran tentara Tartar oleh pasukan Raden Wijaya.
Tapi menurut arkeolog BPCB Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho, kisah 31 Mei 1293 ini tidak memiliki bukti bukti arkeologis yang dapat dijadikan bukti faktual sebagai petunjuk pernah adanya peristiwa itu. Sehingga menurutnya pengajuan tanggal 31 Mei 1293 dan sekaligus pemilihan dan penetapan atas tanggal itu sebagai Hari Jadi Kota Surabaya sangatlah subyektif. Wicaksono menambahkan sejarah tidak boleh subyektif, tapi harus faktuil.
Ternyata penetapan tanggal 31 Mei 1293 yang disyahkan oleh walikota Surabaya, Soeparno melalui SK no 64/SW/1975 pada tanggal 18 Maret 1975 menuai kontroversi. Protes dari sejarawan yang ada di luar tim peniti tidak digubris oleh pemerintah kalau itu. Bahkan buku berjudul “Hari Jadi Kota Surabaya” yang telah disusun dan dicetak oleh Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya tidak jadi didistribusikan ke publik.
Wakil Walikota Armuji dengan lugas mengatakan bahwa hasil putusan dan penetapan oleh DPRD Surabaya dan Walikota Surabaya pada 1975 adalah “dawul dawul atau keputusan suka suka. Keputusan ini perlu diperbaiki seiring dengan semakin pahamnya warga kota Surabaya terhadap sejarah kotanya. Warga kota Surabaya semakin mengerti sejarah kotanya dan karena itu mereka tidak lagi bisa dinina-bobokkan oleh keputusan yang bersifat suka suka.
Untuk itu Armuji membuka diri dan akan menerima usulan perbaikan sejarah hari jadi Kota Surabaya dari komunitas. Menggugat demi kebaikan adalah boleh boleh saja, tidak ada yang melarang, begitu kata wawali yang sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua DPRD Kota Surabaya.
(tNews.co.id – Cak Nanang )